Filosofi Pendidikan yang memerdekakan terinspirasi dari pemikiran Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara. Namun untuk bisa lebih memahami seperti apa pendidikan yang memerdekakan itu, kita perlu lihat lebih mendalami pemikiran-pemikiran beliau. Dengan mengetahui pemikiran-pemikiran Beliau, akan lebih mudah untuk memahami komponen-komponen yang menggambarkan seperti apa pendidikan yang memerdekakan.
“Pendidikan merdeka itu … berdaya upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup – tumbuhnya budi- pekerti (rasa – fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan jangan disertai perintah dan paksaan”
Ki Hadjar Dewantara
Filosofi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak. Tujuannya agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. Kekuatan kodrat yang ada pada anak ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan hidup lahir dari anak-anak . Kaum pendidik hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu
Dasar-jiwa yaitu keadaan jiwa yang asli menurut kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di luar diri.
Dengan kata lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak ketika lahir di dunia. Mengenai dasar jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga aliran yang berhubungan dengan soal daya Pendidikan.
Aliran Rasa
anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum ditulis. Kaum pendidik boleh mengisi kertas yang kosong itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidik berkuasa sepenuhnya untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan. Teori ini dinamakan teori rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si pendidik). Namun, aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hampir tidak diakui kebenarannya di kalangan kaum cendikiawan.
Aliran Negative
Aliran negative, yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai sehelai kertas yang sudah ditulisi sepenuhnya, sehingga Pendidikan dari siapapun tidak mungkin dapat mengubah karakter anak. Pendidikan hanya
dapat mengawasi dan mengamati supaya pengaruh-pengaruh yang jahat tidak mendekati diri anak. Jadi, aliran negatif menganggap bahwa pendidikan hanya dapat menolak pengaruh dari luar. Sementara itu budi pekerti yang tidak nampak ada di dalam jiwa anak tak akan diwujudkan.
Convergentie-Theorie
Teori ini mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. Pendidikan berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai menjadi tebal, bahkan makin suram.
Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta
dapat berubah menurut pengaruh Pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang berhubungan dengandasar hidup manusia dan tidak dapat berubah lagi selama hidup.
Naluri Pendidikan
Pendidikan itu sebenarnya berlaku di tiap-tiap keluarga dengan cara yang tidak teratur. Berlakunya pendidikan dari tiap-tiap orang terhadap anak-anak terbawa oleh adanya paedagogis instinct, yakni keinginan dan kecakapan tiap-tiap manusia untuk mendidik anak-anaknya agar selamat dan bahagia. Naluri atau instinct disebabkan pula oleh adanya naluri yang pokok, yang bertujuan agar terwujudnya keberlangsungan keturunan .
Pendidikan yang dilakukan oleh setiap orang terhadap anaknya, umumnya hanya berdasarkan pada kebiasaan. Bahkan seringkali dipengaruhi oleh perasaan yang berganti-ganti dari si pendidik. Dengan kata lain, tidak dengan ‘keinsyafan’ dan tidak tetap. Jika terdapat keinsyafan, maka keinsyafan itu hanya berdasar atas ‘perkiraan’ atau ‘rabaan’ belaka, yakni tidak berdasarkan pengetahuan. Andaikata ada dasar pengetahuan yang berasal dari ‘pengalaman’, sehingga hal ini berarti kurang luar.
***
Demikianlah sedikit tulisan mengenai filosofi pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dwewantara. Tulisan ini Mamak kutip dari modul diklat komite pembelajaran sekolah penggerak SMK Pusat Keunggulan. Semoga Bermanfaat